Senin, 22 September 2008

Penggunaan Teknologi RFID

Bagi sebagian besar perusahaan, RFID masih merupakan sesuatu yang asing dan “gelap”. Namun, Kimberly-Clark berani menembus kegelapan itu, bahkan ngotot menjadi early adopter . Bagaimana mereka melakukannya?

Membicarakan RFID ( radio frequency identification ) memang tiada habisnya. Teknologi yang disebut-sebut akan sangat berpengaruh terhadap supply chain global ini sudah lama menjtopik perdebatan dan pembicaraan hangat. Apalagi, ketika beberapa tahun lalu Wal-Mart, peritel raksasa AS, mengeluarkan mandat yang mewajibkan ke-100 pemasok utamanya menerapkan tag RFID pada produk-produk yang dikirimnya.

Sekalipun masih pada tahap awal, sejumlah perusahaan berbagai jenis dan ukuran di Amerika Utara mulai mencoba-coba memanfaatkan teknologi yang menjanjikan ini, baik yang berkeyakinan bahwa teknologi ini merupakan cikal bakal revolusi industri ritel maupun yang bersikap skeptis bahwa RFID tak lebih dari barcode yang lebih canggih.

Salah satu perusahaan yang telah mencicipi RFID sejak awal adalah Kimberly-Clark Corp., perusahaan raksasa yang memroduksi produk-produk berbasis kertas, seperti tisu Kleenex, dan sejumlah merek kondang lainnya, seperti popok Huggies dan Depend. Perusahaan, yang bermarkas di Dallas, ini merupakan perusahaan AS pertama yang mengapalkan sebuah produk yang sudah ditempeli label EPC di jalur distribusi komersialnya.

Keseriusan Kimberley-Clark untuk menerapkan RFID pun tak serta merta hanya didorong untuk memenuhi mandat peritel raksasa Wal-Mart, melainkan juga meningkatkan efisiensi supply chain -nya. Para eksekutif Kimberly rupanya memiliki keyakinan bahwa RFID bakal memberikan efisiensi just-in-time (JIT) sebagaimana yang telah dialami Toyota Motor Corp. dan Dell Inc.

Untuk mewujudkan ambisinya, perusahaan ini menggelar riset dan pengembangan RFID-nya sendiri. Tak tanggung-tanggung, perusahaan ini membangun gudang seluas hampir 500 meter persegi khusus untuk mengujicoba penggunaan RFID.

“Nantinya, ada suatu masa dimana kami dapat mengirim pesan peringatan kepada Wal-Mart, dan menanyakan mengapa sebuah rak pajang untuk produk kami kosong, padahal kami tahu bahwa produk itu tersedia di gudang,” tukas Terry Assink, CIO Kimberly-Clark.

Namun, impian just-in-time supply chain ini mungkin baru akan terwujud beberapa tahun mendatang. Saat ini, Kimberly-Clark masih sibuk memikirkan cara bagaimana mengintegrasikan tag RFID-nya ke dalam operasi perusahaannya, yang umumnya melibatkan para pemasok, rekanan bisnis dan pelanggannya. Upaya seperti ini terbilang sulit, apalagi banyak pihak yang sinis dengan mengatakan bahwa teknologi ini tidak akan pernah begitu murah. sehingga cukup layak ditempelkan pada sebuah kotak tisu Kleenex.

Harga memang masih menjadi handicap bagi teknologi yang berbasis gelombang radio ini. Para pengembang teknologi RFID kini masih sibuk mencari cara untuk menekan harga sebuah tag RFID di bawah 10 sen dolar AS. Saat ini, harga sebuah tag RFID paling rendah sekitar 30 sen dolar. Beberapa pihak bahkan mengatakan harga tag bisa mencapai 1 sen pun itu dipandang masih terlalu mahal

Assink mengakui bahwa RFID memang perlu dibuat murah. Selain itu, teknologi itu perlu disebar lebih luas lagi, sebuah proses yang menurut Assink membutuhkan waktu lima atau 10 tahun lebih, karena tidak semua peritel maupun produsen consumer goods memiliki kecepatan tingkat pengadopsian teknologi yang sama. Dan, untuk aplikasi ini, RFID juga dipandang masih memiliki kelemahan yang cukup signifikan, antara lain kesulitan mentransmisikan radio melalui bahan-bahan cair dan logam.

Namun, kesulitan-kesulitan seperti ini tidak membuat Kimberly-Clark bergeming. Bahkan, Assink mengatakan dirinya kini lebih yakin bahwa RFID bakal berdampak positif ketimbang pertama kali ia mengenal RFID sekitar 5 tahun lalu, saat perusahaannya mulai mempertimbangkan teknologi ini.

“RFID akan memberikan kami visibilitas ke seluruh rantai pasok kami, mulai dari pemasok sampai ke rak-rak pajang di toko-toko ritel. Jadi, bayangkan saja manfaat yang bakal kami peroleh,” tukas Assink.

Berawal dari obrolan
Inisiatif RFID di Kimberly-Clark berawal dari perbincangan dua eksekutif perusahaan ini, Greg Tadych, direktur sistem bisnis Kimberley-Clark, dan Michael O’Shea, yang ketika itu menjabat sebagai direktur logisitik untuk Amerika Utara. Keduanya sama-sama belum lama menghadiri konperensi mengenai RFID.

Menurut penuturan O’Shea, ketika ia melontarkan topik pembicaraan mengenai RFID, Tadych pun langsung menyambutnya dengan berbagai gagasan cemerlang untuk memanfaatkan teknologi anyar itu, misalnya stock tracking , perampingan proses pengiriman, proses penerimaan dan forecasting barang yang lebih baik, serta efisiensi penagihan.

Dari perbincangan itulah, benih-benih kolaborasi TI dan unit bisnis di Kimberly-Clark untuk menggelar RFID mulai muncul. Tak membuang waktu, Tadych pun menyampaikan pembicaraannya dengan O’Shea kepada Assink. Dari informasi itu, sang CIO menyadari bahwa RFID bakal menjadi inisiatif besar, sebuah proyek yang layak mendapatkan status FOAK, istilah internal Kimberly-Clark yang digunakan untuk inisiatif strategis bersifat “first of a kind.” Status ini tak pelak memberi jaminan kucuran dana, tanpa mempedulikan berapa lama waktu yang diperlukan bagi teknologi ini mempegaruhi bisnis Kimberly-Clark.

Perjuangan pun dimulai. Assink bersama-sama O’Shea dan koleganya mulai membangun business case , dan melakukan presentasi di hadapan executive steering committee Kimberly-Clark, sekitar tahun 2002. Steering committee ini terdiri dari para petinggi grup produk dan sejumlah eksekutif yang bertanggung jawab mengambil sejumlah kebijakan pengoperasian Kimberly-Clark, termasuk memberi persetujuan anggaran TI-nya.

Sementara itu, di tahun yang sama, Wal-Mart, sebagai pelanggan utama Kimberly-Clark mulai menggulirkan gagasan mewajibkan penerapan teknologi ini pada barang-barang yang dikirim pemasoknya. Hal itu merupakan blessing in disguise bagi upaya yang dilakukan Assink dan kawan-kawan. Tahun itu juga, executive steering committee Kimberly-Clark memberikan lampu hijau kepada Assink untuk memulai proyek RFID-nya.

Memenuhi mandat Wal-Mart, dan sekaligus menyesuaikan diri dengan para pemain ritel terkemuka yang juga mendorong penggunaan RFID, seperti Target Corp., Tesco maupun Metro Group, ternyata bukan alasan utama mengapa Kimberly-Clark tertarik dengan teknologi ini. Bagi perusahaan sebesar Kimberly-Clark, RFID merupakan “sumber uang.” Bukan dari hasil penjualan, namun dari potensi efisiensi yang bisa dipetik dari seluruh rantai pasoknya melalui revolusi proses inventory management -nya. Saat ini, Kimberly-Clark masih mengandalkan barcode . Padahal, barcode membutuhkan proses pemindaian, dan rak-rak produk yang kosong harus dicek dulu oleh seseorang sebelum diisi ulang.

Namun, sebuah rak pajang yang dilengkapi dengan sensor RFID dapat mengetahui, misalnya ketika persediaan pampers Huggies ukuran 5 di tempat itu menipis atau habis, dan secara otomatis mengirim alert ke peritel, distributor bahkan produsennya langsung.

Terobosan semacam ini diperkirakan akan berdampak pada penjualan yang lebih tinggi, baik bagi peritel maupun wholesaler , sekalipun angkanya masih sukar diperhitungkan. RFID Research Center di Universitas Arkansas , AS, dalam sebuah penelitiannya memperkirakan bahwa teknologi ini bisa mendongkrak penjualan sampai setengah persen. Kelihatannya memang tidak besar. Tapi, bagi perusahaan 300 miliar dolar seperti Wal-Mart prosentase peningkatan itu setara dengan 1,5 miliar dolar per tahun.

Kimberly-Clark juga berharap penerapan RFID ini dapat memperbaiki pengawasan inventorinya. Sekalipun memiliki supply-chain kelas dunia, toh perusahaan ini masih saja tetap menuai keluhan dari pelanggannya, yang mengklaim bahwa mereka kekurangan pasokan. Bahkan, hal ini nyaris terjadi setiap hari. Menurut O’Shea, para konsumennya mungkin sudah menerima barang yang dimaksud, tapi informasi barcode -nya tidak tepat, sehingga terkesan mereka belum menerimanya. Selain itu, jika di satu lokasi ada kekurangan stok, mungkin di lokasi lain malah kelebihan stok barang.

Dari gambaran itu, tak heran bila Kimberly-Clark terus ngotot mengembangkan RFID. Tapi, kenyataannya, dampak positif penerapan RFID belum sepenuhnya dirasakan perusahaan ini. Saat ini, kurang dari 1 persen dari produk-produk Kimberly-Clark yang ditempeli tag RFID. Itu pun masih pada tingkat case dan pallet . Selain itu, hanya segelintir peritel yang kini mendorong penggunaan RFID, sekalipun salah satu di antaranya adalah peritel raksasa Wal-Mart.

Belum lagi berbicara tagging produk secara individual, atau menempatkan pemindai RFID di setiap rak pajang yang ada di toko-toko ritel terkemuka. Jelas hal itu membutuhkan investasi yang sangat besar. Sebagai gambaran, sebuah toko Wal-Mart memiliki 12.000 buah rak pajang setinggi 4 kaki. Jadi bayangkan seberapa banyak perangkat RFID reader yang harus dipasang.

Membangun R&D
Inisiatif pengembangan RFID di Kimberly-Clark kini dipusatkan di pabrik manufaktur dan pusat distribusi terbesarnya yang berlokasi di Neenah , Wisconsin, AS. Sekitar 500 meter persegi fasilitas gudangnya disulap menjadi laboratorium khusus untuk menguji coba RFID.

Laboratorium yang dinamakan Auto-ID Sensing Technologies Performance Test Center dirancang sedemikian rupa mendekati kondisi fasilitas pabrik dan distribusi sesungguhnya. Sebagai contoh, di laboratorium raksasa ini Kimberly-Clark menyediakan conveyor loop sepanjang 83 meter, dengan kecepatan gerak 60 dan 76 meter per menit. Sementara bagian lainnya mensimulasikan fasilitas ban berjalan berkecepatan 183 meter per menit, yang biasa digunakan di peritel kelas kakap seperti Wal-Mart, Target dan lainnya. Selain itu, ada pula peralatan-peralatan yang digunakan Kimberly-Clark untuk mengemas produk-produknya.

Di fasilitas inilah, sejumlah perangkat berbasis teknologi RFID mengalami pengujian berat ala kawah candradimuka. Di tempat itu pula suatu tim khusus yang terdiri dari para ahli kemasan dan spesialis sistem informasi mengembangkan kemasan RFID untuk meneliti kompatibilitasnya terhadap seluruh produk buatan Kimberly-Clark.

Banyak teknik penerapan yang terbukti layak, namun tak jarang yang gagal. Sebagai contoh, penempatan pembaca RFID di setiap gerbang keluar masuk barang ternyata tidak efektif, khususnya ketika gerbang-gerbang tersebut saling berdekatan. “Seringkali sebuah pembaca RFID menangkap sinyal dari barang yang melewati gerbang yang lain,” ujar O’Shea, yang belakangan ditunjuk menjadi direktur strategi dan teknologi AutoID dan RFID di Kimberly-Clark.

Artinya, memasang pembaca di 1.000 gerbang pengiriman barang di berbagai fasilitas manufaktur dan distribusi Kimberly-Clark berpotensi tidak meminimalkan kesalahan pengiriman barang, yang merupakan salah satu alasan utama perusahaan ini berinvestasi besar-besaran pada RFID.

Kimberly-Clark juga mendapat masalah ketika menggunakan pembaca RFID di unit-unit forklift -nya. Selain berpotensi remuk akibat benturan, ternyata sinyal RFID tidak begitu berfungsi, baik ketika berhubungan dengan barang-barang logam.

Di sisi lain, upaya perusahaan ini untuk meneliti segala kemungkinan penerapan RFID juga membuahkan pelajaran-pelajaran yang lebih produktif. Misalnya, trik-trik penempatan maupun pemilihan tagging RFID, yang bukan tidak mungkin bisa menjadi masukan dan best practice aplikasi RFID di perusahaan lain. Sebagai contoh, Kimberly-Clark menemukan bukti bahwa produk-produk yang berbeda membutuhkan jenis tag yang berbeda pula . Tag dan pembaca RFID yang bisa berfungsi baik untuk produk tisu kering misalnya, belum tentu bisa diterapkan pada produk tisu basah.

Kimberly-Clark juga meneliti dampak perubahan lingkungan pada tag RFID. Untuk mengetahui masalah-masalah apa yang terjadi ketika produk-produk berlabel RFID, perusahaan melakukan uji coba pengiriman barang dengan kapal ke Malaysia , guna mengetahui efek suhu, kelembaban maupun faktor-faktor lainnya. Tak tanggung-tanggung, perusahaan ini juga meneliti dampak tag RFID itu sendiri terhadap lingkungan.

Kesulitan-kesulitan ini tidak membuat Kimberly-Clark surut. Bahkan, perusahaan ini tengah membangun laboratorium uji coba kedua di fasilitas yang berlokasi di Roswell , Georgia , AS. Sementara untuk memenuhi kebutuhan staf R&D yang handal, Kimberly-Clark menggandeng Michigan State University dan University of Wisconsin Stout, yang dikenal kalangan industri AS memiliki keunggulan dalam riset kemasan.

Tersedia kapan saja
Infrastruktur fisik adalah sebagian dari tantangan inisiatif RFID yang dihadapi Kimberly-Clark. Tantangan yang juga tak kalah berat adalah pembenahan infrastruktur TI-nya. Jika RFID benar-benar digelar sepenuhnya di seluruh titik rantai pasok, maka Kimberly-Clark harus siap menampung dan mengolah luapan data yang dipasok pemindai RFID setiap detik, 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 365 hari setiap tahunnya. Belum lagi pembenahan dari sisi perangkat lunaknya.

Hal ini bukannya tidak disadari Assink. Pertengahan tahun 2004, ia pun menugasi Tadych untuk mengembangkan rencana aplikasi strategis RFID. Rencananya, Kimberly-Clark akan fokus mengembangkan dua solusi supply chain sendiri, yakni program bukti kiriman ( proof of delivery ) elektronik, dan program pengelolaan sediaan stok ( out-of-stock management ).

Infrastruktur komunikasi pun dibenahi. Jaringan data Kimberly-Clark nantinya tidak saja harus sanggup menyalurkan volume data sangat besar yang bakal dihasilkan RFID, tetapi juga melayani kebutuhan pelanggan maupun pemasoknya.

“Kami juga akan melibatkan rekanan bisnis kami dalam proyek percontohan aplikasi RFID ini,” timpal Jonathan Landon, direktur layanan komunikasi Kimberly-Clark. Hal ini tak pelak mengharuskan Kimberly-Clark menata ulang model keamanan jaringannya dana bagaimana membuat rekanan bisnisnya hanya bisa mengakses data-data yang relevan sesuai kebutuhannya. “Hal semacam ini belum pernah kami lakukan sebelumnya,” ujarnya.

Di sisi lain, curahan data yang dihasilkan RFID secara real time juga mengharuskan infrastruktur TI Kimberly-Clark siap digunakan kapan saja dibutuhkan ( high availability ), sanggup bekerja rodi 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Aplikasi-aplikasi yang sudah ada pun harus siap menangani data dalam skala yang jauh lebih besar. Yang jelas kami membutuhkan peningkatan infrastruktur untuk menangani jumlah pengenalan ( addressing ) dan kapabilitas penelusuran ( routing ) yang semakin besar, ujar Landon.

Saat ini, Landon masih bisa bernapas lega karena Kimberly-Clark memiliki kemampuan jaringan ( network throughput ) sebesar 43Gbps, dengan ruang yang mencukupi untuk melakukan ekspansi. Dari sisi kapasitas storage , Kimberly-Clark secara teratur akan membuang sebagian data-data RFID yang diperolehnya, dan hanya menyimpan data yang diperlukannya. Dengan pendekatan ini diharapkan infrastruktur storage -nya tidak akan kewalahan menampung curahan data dalam jumlah besar.

Pengguna awal
Sekalipun masih dalam tahap penyempurnaan, pelan namun pasti, penerapan RFID di produk-produk yang didistribusikan Kimberly-Clark terus meningkat. Di AS, produk-produk barang konsumen yang bertag-RFID tak hanya dikirim ke Wal-Mart saja. Sebagian produk Kimberly-Clark, saat ini, yang dikirim ke peritel besar seperti Target dan Albertsons sudah menggunakan tag RFID. Tahun lalu, tak kurang dari 1 juta kemasan produk berlabel RFID yang dikirim Kimberly-Clark ke Target, Albertson dan Wal-Mart.

Tak hanya itu, Kimberly-Clark memperluas produk-produk ber-RFID-nya ke pasar Eropa. Kuartal pertama tahun lalu, perusahaan ini mulai mendistribusikan produk-produk berlabel RFID ke para peritel terkemuka, Tesco di Inggris dan jaringan ritel terbesar di Jerman, Metro.

Untuk Tesco, Kimberly-Clark mulai memberikan label RFID di produk-produk yang dihasilkan di fasilitas manufakturnya di Barton, Inggris. Sementara pasokan produk untuk Metro ditangani fasilitas manufaktur Kimberly-Clark di Mienholz, Jerman.

Ambisi Kimberly-Clark untuk meng-RFID-kan seluruh bagian memang belum terpenuhi. Perjalanannya masih panjang. Masih banyak wilayah gelap ( dark territory ) yang masih harus dilaluinya. Seperti diakui Assink maupun para eksekutif Kimberly-Clark lainnya, RFID masih membuka banyak peluang atau ide-ide penerapan yang sekarang belum terpikirkan.

Itu baru dari sisi pengembangan teknologi RFID. Belum lagi masalah investasi, return on investment (ROI) dan, tentunya, manfaat langsung bagi bisnis Kimberly-Clark sendiri. Perusahaan ini masih harus berjuang keras untuk membuktikan bahwa langkahnya untuk mengadopsi RFID menguntungkan.

Tak heran, jika upaya raksasa Kimberly-Clark belum begitu ditanggapi para investor dan pemegang saham. Menurut analis A.G. Edwards & Sons Inc., Jason Gere, setidaknya dibutuhkan waktu dua tahun sebelum RFID mulai menunjukkan hasilnya pada perusahaan consumer goods raksasa seperti Kimberly-Clark atau Procter & Gamble.

Keputusan Kimberly-Clark menjadi pengguna awal RFID boleh dibilang langkah berani, namun dengan pertimbangan bisnis yang matang. Seperti diakui Assink, pihaknya tidak memiliki anggaran yang tidak terbatas, sehingga mereka harus selektif menerapkan gagasan ini di titik-titik yang memang berpotensi memberikan hasil terbaik.

Namun, menurut Gere, langkah Kimberly-Clark untuk jauh-jauh hari menyiapkan RFID merupakan langkah yang tepat, karena dalam beberapa tahun ke depan inisiatif seperti itu berpotensi memberi keunggulan kompetitif bagi Kimberly-Clark sendiri. Setidaknya, ketika perusahaan-perusahaan lain mulai mengadopsi RFID, Kimberly-Clark sudah berada jauh di depan.

sumber www.ebizzasia.com




Template by : kendhin x-template.blogspot.com